Cerpen Karya: Efrinaldi

Kuat tekadku untuk menjadi ahli farmasi. Memahami rahasia hukum alam yang melandasi obat. Aku ingin bisa membuat obat seperti aku bisa membuat layang-layang, membuat produk semahal kamera dan produk berkualitas seakurat arloji buatan Jepang milikku.
Institut Teknologi Bandung telah menerimaku menjadi mahasiswa. Perguruan tinggi kesohor tempat Ir. Soekarno pernah kuliah. Kukenakan kacamata hitam BL punyaku. Aku bercermin pada cermin lemari pakaian di kamar yang sebentar lagi aku tinggalkan. Alangkah gagahnya, pikirku. Melihat diriku di dalam cermin, tampak segagah sosok Ir. Soekarno yang digambarkan dalam suatu pawai di kampungku beberapa tahun lalu. Apakah ini narsisme? Ah tidaklah. Ini adalah sublimasi imajinasiku akan sosok seorang yang aku kagumi. Sebagai bahan bakar pemicu semangatku meraih impianku, pikiranku melayang.
“Epi …!” teriak ayah. Aku terperanjat mendengar panggilan ayah. Lamunanku buyar.
“Ya, Ayah,“ jawabku.
Aku keluar dari kamar menghampiri ayah. Terlihat ayah tengah asyik duduk di sofa ruangan tengah, secangkir kopi yang berada di atas meja menemani rokok yang tengah dinikmati ayah. Baju bermodel guntiang cino berwarna putih dan sarung berwarna coklat tua dikenakan ayah.
“Ayah berharap kamu menjadi orang yang benar-benar ahli nantinya. Untuk itu belajarlah dengan baik nanti di tempat kuliah,” kata ayah.
“Baik, Ayah,” jawabku singkat namun pasti.
“Bila kamu ahli, uang akan mencarimu dengan sendirinya.”
Petuah ayah adalah sesuatu yang baru bagiku. Ayah hampir tidak pernah bercerita tentang kekayaan. Ayah sendiri tidaklah seorang yang kaya raya. Namun, beliau sangat aku hormati sebagai sosok yang berilmu banyak dengan profesi guru yang dihargai masyarakat. Beliau juga bisa mencukupi kebutuhanku dan keluarga selama ini.
*
Hari telah menunjukkan pukul sembilan malam. Aku memasukkan buku-buku SMA-ku dalam kardus dan kusimpan di gudang. Semua materi pelajaran SMA telah aku lahap secara tuntas selama tiga tahun. Aku menyiapkan pikiranku untuk menerima pelajaran baru di bangku perguruan tinggi. Aku berbaring di tempat tidur.
Jam sepuluh malam terdengar sepeda motor berhenti di depan rumah. Kemudian terdengar suara pintu garasi dibuka. Ayah pulang dari kedai kopi, pikirku. Aku bangkit dari tempat tidur. Menemui ayah yang telah duduk di ruang tengah. Aku duduk di kursi berhadap-hadapan dengan ayah.
“Kenapa kamu belum tidur?” tanya ayah.
“Aku ingin Ayah memberi nasehat tentang apa yang harus aku ingat dan lakukan sebagai anak rantau nanti,” ujarku. Ayah terlihat santai saja mendengar permintaanku.
“Akhlak mulia dan kejujuran adalah yang utama. Dengan itu akan mudah kehidupanmu, minim masalah dengan diri sendiri dan orang lain.” Terasa bernas kata-kata ayah. Ibu tiba-tiba keluar dari kamar menghampiri kami dan duduk di sebelahku.
“Rupanya ada yang dibicarakan malam ini,” cetus ibu.
“Iya, Ibu …,” jawabku, “Aku mau dapat nasehat dari ayah dan ibu sebelum aku pergi ke Bandung.” Aku pun menghadap ke ibu lebih lurus.
“Anakku, ibu berdoa kamu berhasil dalam hidupmu. Selamat dunia akhirat,” kata ibu. Menetes air mataku mendengar kata-kata ibu. Doa yang sangat mulia dari ibu tercinta. Aku memeluk ibu.
“Berilah aku nasehat yang utama, Ibu!” bisikku. Ibu kemudian memegang kedua pundakku, matanya tajam menusuk retinaku.
“Jadilah orang yang pandai bergaul dan menjaga sikap. Hormati yang lebih tua. Saling menghargai sesama besar. Sayangi yang lebih muda!” Ibu memberikan nasehat yang sangat menghujam ke dalam sanubariku.
“Ayah, Ibu … terima kasih atas nasehatnya!” Ayah dan ibu hanya mengangguk. Aku pun masuk ke kamarku.@