Head NewsHumaniora

Bermain Layang-layang

Cerpen Karya: Efrinaldi

Layang-layang ekor panjang.

Arena bermain layang-layang di kampungku adalah Bukit Duyan, sebuah bukit yang merupakan satu dari rangkaian Bukit Barisan di sepanjang pulau Sumatera. Bukit ini menjorok ke kampungku. Selain Bukit Duyan, ada Bukit Lontiak dan Bukit Suluah yang berlokasi di seberang sungai. Bukit ini lebih jauh lagi dari perkampungan dan masih berupa hutan perawan.

Aku suka ditakut-takuti untuk pergi  ke bukit yang jauh itu karena dikabarkan masih banyak harimau liar hidup di sana, sehingga aku belum pernah ke sana.

“Ayo kita main layang-layang!” ajak kakak sambil membawa dua layang-layang.

“Ini satu layang-layang buatmu, satu lagi buat uda,” ujar kakak.

Aku mengambil layang-layang yang disodorkan kakak. Aku memegang layang-layang di tangan kiri dan memegang gumpalan benang di tangan kanan. Layang-layang yang kubawa adalah berjenis layang-layang “bakok”. Sementara layang-layang yang dibawa kakak berjenis layang-layang “katirai”.

Kami kemudian menuju bukit ke arah utara rumah ibu, rumah Mak Diah,  kami lewati hingga sampai  di kebun Mak Lina yang berada di tepi tebing. Sebelah kiri jalan terdapat rumpun bambu yang menghalangi pemandangan ke arah tepian tempat mandi Baruah Gadiang.

Tibalah kami di pinggang bukit. Terlihat hamparan persawahan yang memanjakan mata di sisi kiriku. Dari kejauhan terlihat sungai Batang Sinamar mengalir dari arah barat.

“Epi, angin cukup kencang sore ini,” kata kakak.

“Bagus itu, Uda.  Layang-layang akan bisa terbang dengan baik,” balasku.

Sampailah kami di atas bukit Durian. Ramai orang di sana. Terlihat Iyen dengan layang-layang “panggua boghuak”, Iwan dengan layang-layang “bonggeng”, Gombok dengan layang-layang “kasembai” dan masih banyak lagi.

“Ayo kita naikkan layang-layangmu, Epi!” ujar kakak.

Aku meminta kakak memegang layang-layangku untuk menyiagakan layang-layang siap terbang. Kakak memegang layang-layang tegak lurus dengan bagian kepala ke arah atas. Aku berlari-lari kecil membentangkan benang dari layangan menuju ke arah berlawanan angin.

Setelah sejauh sekitar lima puluh  meter aku berteriak pada kakak kalau aku mau menarik benang layang-layang untuk diterbangkan. Aku mulai menarik benang hingga menjadi tegang, kakak melepaskan layangan dan aku berlari menjauh sambil menarik benang.

Tidak begitu lama berselang, layang-layang telah terbang di udara dengan baik. Aku mengulur benang perlahan-lahan sehingga layang-layang terbang cukup tinggi. Layang-layang “bakok” terbang dengan tenang.

Selanjutnya aku melepas layang-layang kakak. Layang-layang kakak juga berhasil terbang dengan baik.

Jam lima, kami selesai main layang-layang. Aku dan kakak pulang. Puas rasanya bermain layang-layang sore itu.

*

“Epi, buatlah sendiri layang-layang!” ujar ayah suatu hari.

“Baiklah, Ayah!” sahutku.

Aku memang anak penurut. Aku jarang membantah kata ayah, apalagi ayah selalu menyuruhku hal-hal yang baik. Selama ini aku selalu dibuatkan layang-layang oleh kakak. Kakak pandai membuat layang-layang.

Bermacam model layang-layang pernah dibuatnya. Kakak pandai membuat layang-layang sederhana yang disebut layang-layang “maco”, yaitu layang-layang berbentuk ikan dengan ekor panjang.

Layang-layang ini tidak rumit membuatnya dan tidak perlu harus teliti sekali meraut bingkainya. Layang-layang jenis ini memiliki ekor panjang. Ekor panjang ini membuat stabil terbangnya layang-layang, walau rangka layangan tidak simetris sempurna.

Layang-layang yang sulit dibuat adalah layang-layang bernama “bakok”. Layang-layang ini seperti burung elang. Layang-layang ini sangat sensitif terhadap ketidakseimbangan berat bingkainya.

Sering layang-layang gagal terbang ketika diterbangkan. Memang ada beberapa kesalahan kecil yang bisa diperbaiki, seperti menambah beban di sayap kiri atau kanannya. Bisa juga menambah beban di kepala layang-layang. Pemasangan benang ke badan layang-layang juga memiliki trik yang harus dipelajari.

Aku mulai membuat layang-layang “maco” pertama kali. Kuminta sepotong bambu ke tukang bambu di kampung sebelah. Aku belah bambu dengan pisau menjadi belahan sebesar kelingking.

Kuraut dengan sebilah pisau kecil. Rautannya besar di bagian tengan dan mengecil di ujung-ujungnya. Tepat di tengahnya dibuat lekukan. Bingkai yang telah mulai rapi teraut diperiksa kesimetrisannya dengan meletakkan bingkai di atas mata pisau tepat dilakukan tengah bingkai.

Bila belum seimbang diraut bagian bingkai yang berat. Hanya satu bingkai yang menjadi komponen sayap. Satu lagi yang harus dibuat adalah bingkai yang menjadi poros layang-layang. Bingkai ini besar di bagian kepala dan mengecil di bagian ekor.

Selanjutnya, bingkai sayap diikat kedua ujungnya dengan benang. Benang yang terikat bingkai sayap diikatkan ke bagian ekor bingkai poros pemasangan benang harus seimbang antara sayap kiri dan kanan.

Kemudian, aku memasang kertas mengikuti bingkai yang telah dirakit itu. Juga dipasang ekor yang panjangnya sekitar tiga meter. Bagian paling akhir adalah memasang benang ke badan layang-layang. Selesai sudah!

Layang-layang itu berhasil terbang dengan baik.

Begitu ayah tahu kalau aku berhasil membuat layang-layang “maco”, ayah memujiku.

“Hebat, Epi!” kata beliau, “lain kali buatlah layang-layang ‘bakok’ yang lebih sulit dibuat!” lanjut ayah.

“Baik, Ayah. Epi akan buat!” sahutku.

Aku senang sekali dapat pujian dari ayah.

Tantangan ayah untuk membuat layang-layang “bakok” membuatku antusias membuat layang-layang “bakok” yang juga berhasil terbang dengan baik. Kemudian aku juga berhasil membuat layang-layang lain seperti layang-layang “panggua boghuak” dan layang-layang “katirai”.@

Bagikan

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts