
Samarinda.UpdateKaltim.com – Keluhan guru-guru honorer tentang ketidakjelasan status mereka mencuat dalam Safari Ramadan/Salat Subuh tahun 2025 bersama Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim) Rudy Mas’ud, di Masjid Darunni’Mah, Jalan Slamet Riyadi, Karang Asam, Sungai Kunjang, Samarinda, Senin (10/3).
Acara yang diawali salat subuh berjamaah dan tausiyah itu berubah menjadi sesi dialog yang penuh harapan. Seorang guru dari SMA Negeri 8 Samarinda, Nurhayati, angkat bicara dan menyampaikan keresahannya di hadapan gubernur serta para pejabat yang hadir.
“Selama ini kami diabaikan, Pak. Banyak guru honorer yang tidak bisa masuk PPPK karena aturan baru. Padahal, anak-anak kami masih membutuhkan guru. Bagaimana caranya agar mereka yang sudah lama mengabdi, yang direkrut sebelum adanya peraturan perundang-undangan baru yang dibuat dibuat pada Oktober 2023, tetap punya kesempatan jadi PPPK,” tanya Nurhayati dengan suara penuh harap.
Menjawab pertanyaan itu, Gubernur Kaltim menegaskan bahwa kebijakan terkait seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) sepenuhnya merupakan kewenangan pemerintah pusat.
“Peraturan itu dibuat oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden dan DPR RI. Untuk bidang pendidikan, ini menjadi ranah Komisi X. Kita punya keterwakilan di sana, dan Ketua Komisi X DPR RI, adalah ibu Hetifah Sjaifudian, berasal dari Kaltim Fraksi Golkar. Insya Allah, saya akan membahas hal ini dengan beliau,” ujarnya.
Meskipun kewenangan berada di pemerintah pusat, Rudy menegaskan bahwa Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim tetap berupaya memberikan perhatian kepada guru honorer.
“Kami juga punya program insentif untuk guru honorer. Kalau saya tidak salah, insentifnya Rp1 juta setiap bulan untuk tenaga honorer, termasuk guru-guru keagamaan. Ini tetap berjalan, jadi insya Allah guru honorer tidak perlu khawatir,” tambahnya.
Dalam sesi dialog itu, Rudy juga mengakui bahwa peran guru honorer sangat penting dalam dunia pendidikan.
“Saya sadar bahwa guru honorer sangat-sangat membantu dalam pelaksanaan pendidikan. Bahkan, saat saya masih sekolah, banyak kelas kosong yang justru diisi oleh guru-guru honorer. Mereka sering kali lebih menguasai materi dibandingkan guru ASN,” katanya.
Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa masalah guru honorer bukan hanya soal jumlah, tetapi juga soal kesinambungan sistem pendidikan.
“ASN kita terbatas, sementara kebutuhan tenaga pengajar terus meningkat. Jadi Bu kami juga benar-benar sangat akademisi. Kami melalui proses dengan akademisi itu. Jadi kami paham bagaimana proses di dalam kegiatan belajar dan mengajar itu,” tegasnya.
Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan