Head NewsPolhukam

Praktik Perdagangan Bayi karena Permasalahan Sosial Ekonomi

Ilustrasi

JAKARTA.UpdateKaltim.com –  Praktik perdagangan bayi diketahui juga terjadi karena permasalahan sosial ekonomi. Seperti karena orangtua yang sudah memiliki banyak anak dan tidak lagi sanggup menafkahi buah hatinya karena terhimpit masalah ekonomi, sehingga memutuskan menjual anaknya.

Banyak juga kejadian jual beli bayi dilakukan karena orangtua yang menginginkan anak tidak sabar mengikuti prosedur pengadopsian anak. Untuk itu, Komisi IX yang membidangi urusan Kesehatan tersebut meminta Pemerintah mempermudah dan menyederhanakan proses dalam tahapan proses adopsi.

Dalam proses adopsi anak, Pemerintah Daerah menyiapkan tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak (TP3A) yang akan melakukan penilaian terhadap calon orang tua adopsi.

“Untuk keamanan dan kenyamanan pihak-pihak terkait, memang diperlukan berbagai langkah yang sangat rigid. Tapi penyederhanaan perlu dipertimbangkan agar praktik adopsi ilegal tidak semakin menjamur,” kata Anggota Komisi IX DPR RI Arzeti Bilbina dalam keterangan persnya, Selasa (16/5/2023).

“Dengan kemudahan prosedur adopsi anak, kami di DPR berharap tidak ada lagi orangtua yang hendak mengadopsi memilih cara ilegal untuk mendapatkan anak. Pemerintah harus betul-betul memfasilitasi,” tambahnya.

Masalah pengangkatan anak juga belum dianggap serius di Indonesia. Sebab dilaporkan, sebagian Pemerintah Daerah tidak mengalokasikan anggaran cukup untuk memproses pengangkatan anak sehingga sidang tim pertimbangan perizinan pengangkatan anak (TIPA) tidak bisa digelar. Sidang TIPA sendiri adalah salah satu tahapan proses pengangkatan anak melalui jalur legal.

“Komisi IX DPR mendorong Pemerintah lebih serius dalam mengalokasikan anggaran mengenai proses pengangkatan anak. Karena sebenarnya ada banyak pasangan menikah yang bersedia mengadopsi anak tapi terhalang karena persoalan-persoalan administrasi seperti ini,” ucap Arzeti.

Lebih lanjut, Arzeti menyoroti adanya praktik-praktik perdagangan anak melalui sindikat luar negeri. Sebab ada juga beberapa kasus ditemukan perdagangan bayi hingga ke luar negeri. Arzeti pun khawatir dengan nasib bayi-bayi yang ditampung di tempat tidak semestinya oleh kelompok sindikat perdagangan anak.

“Kita harus serius menangani permasalahan ini. Pemerintah juga harus memastikan nasib anak-anak yang tidak jadi diadopsi. Harus ada jaminan keselamatan untuk bayi atau anak yang menjadi korban perdagangan oleh pihak tidak bertanggung jawab,” tuturnya.

Sebagai informasi, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat kasus perdagangan bayi dalam tiga tahun terakhir mengalami kenaikan, meski di tahun 2022 terjadi penurunan. Di tahun 2020 terdapat 213 kasus, tahun 2021 terdapat 406 kasus dan tahun 2022 terdapat 219 kasus.

Sedangkan, Komnas Perlindungan anak mengurai pada tahun 2021 terdapat 11 kasus perdagangan anak dan bertambah pada tahun 2022 dengan 21 kasus.

Oleh karena itu, Arzeti meminta sinergitas dari seluruh stakeholder dalam memerangi kasus perdagangan bayi. Ia berharap dengan kerja sama dan upaya pemangku kebijakan serta kontribusi dari masyarakat, praktik penjualan bayi tidak semakin meraja rela.

“Dengan meningkatkan kesadaran, melaporkan dugaan, dan bekerja sama dengan lembaga terkait, masyarakat dapat berperan dalam melindungi hak-hak anak dan mencegah praktik perdagangan bayi,” kata Arzeti.

Sementara itu untuk penegak hukum, Arzeti meminta agar kasus-kasus perdagangan bayi berkedok adopsi diusut tuntas sampai ke akar-akarnya. Ia juga mengingatkan Kemenkes untuk bekerja sama dengan Kementerian Sosial, Kementerian Luar Negeri, dan pihak kepolisian untuk melakukan pengawasan.

Pihak yang berwenang pun diingatkan untuk menggencarkan sosialisasi agar masyarakat tidak takut melaporkan apabila menemukan indikasi nakes atau faskes yang melalukan praktik adopsi anak ilegal. Arzeti menyebut, adopsi ilegal telah melanggar Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Bertepatan dengan Hari Ibu Internasional yang diperingati setiap tanggal 14 Mei, Arzeti mengajak semua perempuan di Indonesia untuk menempuh cara yang benar jika hendak memiliki anak. Ia memahami beratnya penantian orangtua yang menunggu kehadiran anak, termasuk bagi perempuan-perempuan yang mengalami kondisi hamil di luar nikah.

“Tapi adopsi ilegal adalah salah. Sebagai perempuan dan ibu, saya memahami beratnya permasalahan-permasalahan tersebut. Saya mengerti pedihnya menantikan kehadiran buah hati. Saya juga berempati terhadap perempuan yang hamil di luar nikah. Meski salah, pasti tidaklah mudah bagi mereka,” ungkap Arzeti.

“Tapi percayalah, masih ada solusi-solusi di luar tindakan penjualan anak. Ada berbagai layanan dari Pemerintah dan organisasi masyarakat yang bersedia mendampingi dan membantu memberikan jalan keluar dengan cara yang benar,” tutup ibu tiga anak itu.

Sumber: Humas DPR RI | Editor: Intoniswan

Bagikan

Leave A Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts